WARTA RAKYAT ONLINE- Pekanbaru, Pernyataan Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Kota Pekanbaru, Zulhelmi Arifin, terkait polemik utang pembangunan Rumah Sakit Daerah (RSD) Madani menimbulkan gelombang kontroversi baru. Pasalnya, Zulhelmi menyebut proyek fisik tersebut “tidak memiliki kontrak.”
“Sudah saya cek langsung. Bahkan kami sudah konsultasikan juga dengan APH (Aparat Penegak Hukum). Bahwa pekerjaan tersebut ternyata tidak ada kontraknya,” ujar Zulhelmi kepada wartawan, Jumat (10/5). “Lantas bagaimana Pemko mau membayarkan jika administrasinya saja tidak ada,” lanjutnya.
Pernyataan ini menggemparkan publik. Bagaimana mungkin sebuah proyek infrastruktur senilai ratusan miliar rupiah bisa berjalan tanpa ikatan hukum formal?
Bertentangan dengan UU dan Perpres
Pernyataan Zulhelmi, jika benar, membuka dugaan pelanggaran serius terhadap sejumlah aturan perundang-undangan:
1. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 15 ayat (1):
> “Setiap pengeluaran atas beban APBN/APBD harus didukung bukti yang lengkap dan sah.”
2. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (jo. Perpres No. 12 Tahun 2021):
> Menegaskan bahwa kontrak pengadaan adalah dasar hukum pelaksanaan kegiatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa.
3. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 155 ayat (2):
> Mengatur bahwa pembayaran hanya dapat dilakukan atas dasar kontrak yang sah dan berita acara hasil pekerjaan.
Tanpa kontrak, proyek tersebut tidak hanya melanggar hukum administratif, tetapi juga berpotensi menjadi dugaan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.
Inspektorat Dituding Lalai atau Diam Saja?
Sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Inspektorat Kota Pekanbaru seharusnya menjadi benteng pertama dalam mengawasi seluruh kegiatan pembangunan. Namun hingga kini, tidak ada pernyataan resmi dari Inspektorat terkait dugaan proyek tanpa kontrak ini.
“Kalau benar tidak ada kontrak, bagaimana Inspektorat bisa membiarkan proyek itu berjalan begitu saja selama lebih dari dua tahun?” ujar Ridwan S., pengamat kebijakan publik. “Apakah mereka tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”
Jika Inspektorat gagal menjalankan tugasnya sebagai pengawas internal, maka itu bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran, atau bahkan keterlibatan tidak langsung dalam praktik penyimpangan administratif.
Zulhelmi: Lari dari Tanggung Jawab atau Ucap Fakta?
Zulhelmi menuding pekerjaan itu dilakukan oleh mantan Dirut RSD Madani, Arnaldo Eka Putra—yang kini menjadi tersangka kasus dugaan penipuan proyek.
“Kan itu pekerjaan person to person ya. Bukan Pemko Pekanbaru. Kalau kami tetap bayarkan, bisa jadi temuan. Kecuali sudah ada ketetapan dari pengadilan,” ujar Zulhelmi.
Namun, publik bertanya-tanya: jika benar proyek ini tidak resmi, mengapa bisa dimulai dan dilanjutkan sejak 2022? Bagaimana dengan penyerapan anggaran, pengawasan fisik, dan laporan keuangan?
"Drama Kebohongan Administratif" dan Rakyat Jadi Korban
Tokoh pemuda Pekanbaru,Akhyar , menilai pemerintah tidak hanya lepas tangan, tetapi juga melecehkan akal sehat publik.
“Ini seperti pemerintah bermain sandiwara, saling lempar tanggung jawab. Yang jadi korban adalah rakyat, karena proyek mangkrak, utang tak dibayar, dan nama baik ASN hancur,” tegas Akyar
Desakan Audit Total dan Pembukaan Dokumen
Kini desakan publik makin kuat agar:
Inspektorat dan BPKP segera mengaudit ulang seluruh dokumen proyek RS Madani;
Pemko membuka dokumen pengadaan secara transparan ke publik;
Aparat hukum menelusuri kemungkinan adanya penghilangan dokumen atau upaya memanipulasi fakta.
Jika tidak ada penegakan hukum yang tegas, kasus RS Madani akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah—di mana proyek bisa jalan tanpa dasar hukum, dan lembaga pengawasan justru hilang dari sorotan.
Transparansi adalah syarat demokrasi. Jika pejabat bermain-main dengan kebenaran, maka publik berhak mengobrak-abrik kedoknya.***mdn
#Skandal Madani