KIZB: DUSTA DAN LUKA BATIN

KIZB: DUSTA DAN LUKA BATIN
Andri Saputra Lubis, M.Psi

Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi

Dalam lanskap kehidupan yang dibanjiri pencitraan dan narasi estetika, kejujuran perlahan tergerus, tergantikan oleh kepentingan membangun kesan. Banyak orang kini hidup dalam ruang publik yang dikonstruksi, di mana kebohongan, dalam tradisi Islam dikenal sebagai kizb, bukan lagi sekadar penyimpangan moral, tetapi menjadi bagian dari strategi bertahan. Namun, di balik “kebohongan sosial” yang dianggap ringan, tersembunyi kerusakan yang lebih dalam: retaknya jiwa dan terputusnya keutuhan batin.

Dalam terminologi Arab, kizb berarti dusta, kebalikan dari ?idq yang bermakna kebenaran dan kejujuran. Dalam etika Islam, kizb tidak hanya dikategorikan sebagai dosa berat, tetapi juga ciri dari sifat munafik. Dalam sabda Rasulullah SAW, disebutkan bahwa salah satu tanda kemunafikan adalah ketika seseorang berkata, ia berdusta (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa kebohongan bukan sekadar perbuatan tercela secara sosial, tetapi juga indikator kerusakan spiritual yang serius.

Dalam khazanah tasawuf, kizb dipahami sebagai polusi batin yang merusak kemurnian hati. Kecenderungan untuk berdusta menunjukkan bahwa seseorang telah menjauh dari fitrah manusiawi, yang pada dasarnya diciptakan dengan dorongan alami untuk berkata jujur. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, menjelaskan bahwa kebohongan menjadi penghalang besar bagi seorang hamba dalam perjalanan menuju Allah. Hati yang tertutup oleh kebohongan tidak lagi mampu memantulkan cahaya kebenaran, menjadikan seseorang asing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya.

Psikologi modern memberikan perhatian serius terhadap perilaku berdusta, terutama melalui pendekatan kognitif. Salah satu teori yang berpengaruh dalam memahami dinamika ini adalah cognitive dissonance, yang diperkenalkan oleh Leon Festinger. Teori ini menyatakan bahwa saat seseorang berkata tidak jujur sementara nilai-nilai moral dalam dirinya menolak hal itu, maka akan muncul ketegangan psikologis. Kondisi ini menimbulkan tekanan batin yang dapat memicu perasaan bersalah, stres berkepanjangan, hingga krisis identitas jika dibiarkan tanpa penyelesaian.

Demi mengurangi ketegangan tersebut, individu sering kali terdorong untuk melakukan rasionalisasi, menyesuaikan persepsi terhadap kebohongan, atau bahkan mengabaikan nilai-nilai moral yang sebelumnya diyakini. Proses adaptasi kognitif seperti ini, jika berlangsung terus-menerus, berpotensi menumpulkan kepekaan nurani dan melemahkan kompas etika internal. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai moral disengagement, yakni kondisi ketika seseorang melepaskan ikatan emosional terhadap tindakan tidak bermoral, seolah tidak lagi merasa bersalah atau bertanggung jawab. Ketika ini menjadi pola hidup, kebohongan bukan hanya menjadi kebiasaan, tetapi juga menghancurkan fondasi kepribadian dan integritas seseorang secara perlahan.

Dalam perspektif psikologi klinis, perilaku berbohong yang berlangsung secara berulang atau tidak terkendali sering kali dikaitkan dengan gangguan kepribadian. Pola kebohongan seperti ini bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi bisa menjadi indikator dari disfungsi psikologis yang serius. Beberapa jenis gangguan kepribadian yang kerap menunjukkan kecenderungan berdusta antara lain melibatkan pola manipulatif, ketidakstabilan emosi, dan dorongan untuk mempertahankan citra diri secara tidak sehat. Beberapa kondisi yang sering disertai dengan perilaku berdusta antara lain:

Antisocial Personality Disorder (ASPD): Pada individu dengan ASPD, kebohongan kerap menjadi alat strategis untuk mencapai tujuan pribadi. Mereka memanfaatkan ketidakjujuran secara sadar dan tanpa empati, menjadikannya sarana manipulatif untuk mengendalikan atau mengambil keuntungan dari orang lain. Bagi mereka, kebenaran tidak memiliki nilai intrinsik; yang penting adalah hasil akhir yang menguntungkan, tak peduli konsekuensinya terhadap pihak lain.

Narcissistic Personality Disorder (NPD): Dalam kasus NPD, kebohongan berfungsi sebagai lapisan pelindung citra diri. Individu dengan gangguan ini cenderung membangun narasi palsu untuk mempertahankan kesan unggul dan istimewa di mata orang lain. Mereka menutupi rasa rendah diri yang tersembunyi dengan konstruksi kepribadian yang terlihat percaya diri namun rapuh. Ketidakjujuran, dalam konteks ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan untuk menjaga ego dari luka harga diri yang mendalam.

Borderline Personality Disorder (BPD): Pada penderita BPD, kebohongan sering kali muncul sebagai respons emosional yang impulsif terhadap ketidakstabilan relasi dan ketakutan akan penolakan. Kebohongan bukan ditujukan untuk memanipulasi, melainkan sebagai bentuk perlindungan diri dari rasa sakit psikologis. Ia menjadi semacam pelarian dari kecemasan ekstrem dan upaya mempertahankan hubungan yang terasa terancam. Ketidakjujuran di sini lebih merupakan ekspresi dari luka emosional yang belum terselesaikan.

Sementara psikologi modern berfokus pada aspek perilaku dan kognitif, psikologi Islam menawarkan pendekatan yang lebih menyentuh aspek ruhani. Dalam pandangan ini, kebohongan bukan sekadar kelainan perilaku, tetapi tanda dari hati yang terjangkit penyakit spiritual. Oleh karena itu, penyembuhan tidak cukup dengan terapi eksternal, tetapi juga harus menyentuh sisi terdalam jiwa.

Dunia digital hari ini menjadi ladang subur bagi kebohongan modern. Melalui manipulasi visual, edit narasi, dan seleksi citra, seseorang dapat membentuk “identitas ideal” yang jauh dari kenyataan. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai accepted deception, di mana masyarakat secara tidak sadar menerima dan bahkan mendukung kebohongan sebagai bagian dari budaya daring.

Namun, konsekuensinya tidak ringan. Riset psikologi menunjukkan bahwa mereka yang sering menampilkan versi “sempurna” dari diri mereka di media sosial berisiko mengalami gangguan mental seperti kecemasan, rendah diri, dan depresi. Ketika realitas batin dan citra digital terus-menerus berselisih, lahirlah krisis eksistensi yang sulit diobati hanya dengan pendekatan teknis.

Salah satu ciri paling merusak dari kebohongan adalah sifatnya yang berkelanjutan, sekali seseorang berdusta, maka kebohongan berikutnya hampir selalu diperlukan untuk menutupi yang pertama. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai eskalasi kebohongan (escalation of deception), yaitu pola kompulsif di mana seseorang merasa perlu menciptakan cerita tambahan guna mempertahankan kebohongan sebelumnya. Hal ini menciptakan tekanan mental yang terus bertambah, perasaan cemas, takut ketahuan, hingga perlahan terperangkap dalam realitas palsu. 

Dari perspektif Islam, kebiasaan berdusta seperti ini mengotori hati dan melemahkan sensitivitas spiritual. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kejujuran menuntun pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke syurga; sementara dusta membuka jalan menuju kefasikan dan akhirnya membawa manusia ke neraka (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, satu kebohongan sering kali bukan sekadar kesalahan moral, melainkan awal dari keruntuhan karakter dan kehancuran batiniyah.

Meskipun berasal dari dua disiplin berbeda, psikologi modern dan Islam sepakat bahwa kejujuran adalah fondasi kesehatan mental dan spiritual. Di tengah dunia yang semakin permisif terhadap kepalsuan, berkata jujur menjadi bentuk keberanian yang langka. Bagi psikologi, kejujuran mengurangi disonansi kognitif dan memperkuat identitas diri. Bagi Islam, kejujuran adalah jalan lurus menuju ridha Allah dan keselamatan jiwa.

Menghidupkan kejujuran di era ini adalah bentuk revolusi sunyi: membebaskan diri dari beban citra palsu, memulihkan integritas batin, dan mengembalikan keseimbangan antara lahir dan batin. Ia bukan hanya pilihan moral, tetapi kebutuhan psikologis dan tuntutan spiritual.

Tahdzib al-Nafs atau pengendalian diri menjadi fondasi dalam menangani perilaku berdusta. Melalui muhasabah (evaluasi diri), muraqabah (kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah), serta riyadhah (latihan jiwa), seseorang diajak kembali pada fitrah kejujuran. Proses ini menumbuhkan kepekaan moral dan keselarasan antara hati, ucapan, dan tindakan. Dalam Islam, kejujuran bukan hanya kebajikan sosial, melainkan bentuk ketundukan spiritual dan langkah awal menuju keseimbangan jiwa.

Di era yang sarat dengan kepura-puraan dan pencitraan, sikap jujur justru menjadi bentuk keberanian yang paling otentik. Kebohongan, meskipun sering dianggap remeh, sejatinya merupakan awal dari kehancuran batin. Baik menurut ajaran Islam maupun psikologi modern, dusta bukan sekadar kesalahan etis, melainkan tanda dari jiwa yang sedang goyah, menyisakan keresahan, beban psikologis, dan kehilangan arah diri.

Sebaliknya, kejujuran adalah upaya menyatukan apa yang dirasa, diucap, dan dilakukan. Ia menyehatkan jiwa, menjernihkan hati, dan menumbuhkan ketenangan yang hakiki. Maka, jika ingin memulihkan diri dari luka-luka batin yang tak kasat mata, langkah pertama yang bisa ditempuh adalah kembali pada kejujuran. Karena dengan berkata benar, kita sesungguhnya sedang menapaki jalan pulang, menuju kejernihan hati, kekuatan moral, dan kedamaian jiwa.

__________

Penulis adalah mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Penjaminan Mutu Ponpes Darul Adib Medan, dan Pimpinan Rumah Tahfiz Al-Munif

#Dusta Dan Luka Bathin