MoU di Tengah Skandal: Riau Petroleum Gandeng Kejaksaan Saat Dirutnya Diperiksa Terkait Dugaan Korupsi Rp193,7 Triliun

MoU di Tengah Skandal: Riau Petroleum Gandeng Kejaksaan Saat Dirutnya Diperiksa Terkait Dugaan Korupsi Rp193,7 Triliun

WARTA RAKYAT ONLINE- Pekanbaru, Di sebuah ballroom hotel bintang lima di jantung Kota Pekanbaru, sekelompok pejabat publik dan korporat menandatangani dokumen yang tampak formal dan penuh itikad baik: Nota Kesepahaman (MoU) antara PT Riau Petroleum dan Kejaksaan Tinggi Riau. Di atas kertas, kerja sama ini mengusung semangat penegakan hukum. Namun di balik seremoni mewah itu, bayang-bayang skandal besar sedang menyelimuti.

PT Riau Petroleum bukan pemain kecil. Sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Riau, perusahaan ini memegang peran strategis dalam bisnis energi lokal, terutama setelah diberi mandat mengelola wilayah kerja migas pasca-blok Rokan. Tetapi kini, nama besar itu mulai dikaitkan dengan pusaran korupsi migas nasional yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

Ironisnya, penandatanganan MoU berlangsung hanya dua bulan setelah Ferry Andriadi, Direktur Utama PT Riau Petroleum Rokan—unit usaha langsung di bawah PT Riau Petroleum—diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara korupsi minyak mentah dan produk kilang.

Anatomi Skandal Migas: Dari Pusat hingga Daerah

Penyidikan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) membuka tabir kasus besar yang menyentuh jantung bisnis energi Indonesia. Modusnya adalah pengaturan harga, manipulasi lelang, serta kerja sama gelap antara pejabat PT Pertamina, subholding, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dan pihak swasta. Seluruh praktik ini berlangsung dalam kurun waktu 2018 hingga 2023—periode yang bersinggungan langsung dengan kiprah PT Riau Petroleum Rokan.

Menurut sumber internal di Kejagung yang enggan disebut namanya, PT Riau Petroleum Rokan termasuk dalam daftar entitas yang diperiksa karena terlibat dalam beberapa pengadaan jasa dan distribusi yang dianggap janggal. “Ada dugaan intervensi dari induk perusahaan,” ujar sumber itu, merujuk pada peran Husnul Kausarian, Direktur Utama PT Riau Petroleum (Perseroda), yang kini mulai disorot oleh para penyidik.

Husnul, akademisi bergelar Ph.D lulusan luar negeri, sebelumnya dikenal luas di lingkungan kampus. Namun sejak menjabat sebagai Dirut PT Riau Petroleum, ia ikut menandatangani berbagai perjanjian strategis yang kini sedang dikaji oleh Kejaksaan.

Waktu yang Mencurigakan, MoU yang Mengundang Tanda Tanya

MoU antara PT Riau Petroleum dan Kejaksaan Tinggi Riau dilangsungkan pada 20 Mei 2025—tepat dua bulan setelah Ferry Andriadi diperiksa pada 13 Maret 2025. Publik mempertanyakan: mengapa baru sekarang dilakukan kerja sama hukum? Mengapa dilakukan justru saat nama perusahaan sedang disebut-sebut dalam penyidikan korupsi nasional?

“Sikap antisipatif” yang disebut Husnul dalam pidatonya terdengar kurang meyakinkan bagi banyak pengamat. “Kalau benar ingin transparan, kerja sama semacam ini seharusnya dilakukan sejak awal, bukan ketika perusahaan mulai dilirik aparat,” kata Siti Rahayu, peneliti hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Andalas.

Ia juga menambahkan bahwa MoU semacam ini tidak memiliki kekuatan hukum substantif dan cenderung bersifat simbolis. “Tidak ada pasal yang bisa menjamin bahwa MoU akan mencegah atau menghentikan tindak pidana. Ia hanya pernyataan niat,” tegasnya.

Ancaman Pasal Berat, Sinyal Perampasan Aset

Penyidikan oleh Kejaksaan Agung mengindikasikan bahwa perkara ini tidak akan berhenti pada sembilan tersangka awal. Dengan menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 18 yang memungkinkan perampasan aset dan pencabutan hak sipil, para penyidik tampaknya tengah menelusuri aliran dana dan hubungan antar-entitas, termasuk BUMD.

Pasal 18 menjadi kunci. Pasal ini memungkinkan negara menelusuri dan menyita aset pihak-pihak yang diuntungkan secara tidak sah—baik yang langsung maupun tidak langsung terlibat. Dengan kerugian negara hampir Rp200 triliun, tidak tertutup kemungkinan PT Riau Petroleum—sebagai entitas—ikut terseret dalam aspek pertanggungjawaban korporasi.

Bisnis Migas Daerah: Peluang atau Ladang Rawan Korupsi?

Fenomena keterlibatan BUMD seperti PT Riau Petroleum dalam rantai distribusi energi nasional bukan hal baru. Namun keberadaan mereka kerap berada dalam zona abu-abu: tidak diawasi secermat BUMN, tetapi memiliki akses besar terhadap sumber daya strategis.

Dalam banyak kasus, BUMD menjadi “kendaraan politik” bagi elite daerah untuk mengakses proyek bernilai tinggi. Transparansi rendah, akuntabilitas lemah, dan pengawasan DPRD yang minim menjadi kombinasi sempurna bagi praktik koruptif.

“Bukan rahasia lagi, banyak BUMD energi dibentuk hanya untuk mengejar kontrak dan rente. Ketika terjadi pembagian keuntungan gelap, daerah pun kecipratan,” ujar seorang mantan auditor BPK yang pernah memeriksa kontrak migas di Riau.

Apa yang Ditunggu Kejagung?

Pertanyaannya kini: apakah Kejaksaan Agung akan berani mengungkap dan menyeret aktor-aktor di balik layar, termasuk mereka yang berlindung di balik logo BUMD dan jabatan publik?

Langkah PT Riau Petroleum menggandeng Kejati Riau mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan niat baik. Tapi di mata publik, langkah ini justru memperkuat kesan bahwa perusahaan sedang mencoba menyelamatkan citra sebelum badai datang lebih besar.

Bagi rakyat Riau, yang selama ini hanya jadi penonton dari kekayaan bumi mereka sendiri, kasus ini menjadi cermin telanjang betapa keruhnya air di hulu tata kelola energi.***mdn

#Korupsi Riau Petroleum