Dari Desa ke Penjara: Desakan Tangkap Kades Penerbit SKT Liar di TNTN Menggema

Dari Desa ke Penjara: Desakan Tangkap Kades Penerbit SKT Liar di TNTN Menggema

WARTA RAKYAT ONLINE- Pekanbaru, 13 Juni 2025 — Sebuah skandal lingkungan terkuak di tengah upaya penyelamatan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Kepala desa di sejumlah wilayah Kabupaten Pelalawan diduga kuat telah menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) di dalam kawasan konservasi. Tindakan ini menuai kecaman dari aktivis lingkungan dan menjadi sorotan tajam dari publik.

Herikson, Juru Kampanye Komunitas Pecinta Alam Riau (Kopari), menegaskan bahwa penerbitan dokumen tersebut adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang tidak bisa ditoleransi. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses para kepala desa yang terlibat.

“Baik SKT maupun SKGR tidak bisa dibenarkan jika diterbitkan di atas kawasan konservasi seperti TNTN. Ini pelanggaran serius yang melegalkan kejahatan lingkungan secara administratif,” ujar Herikson.

Pernyataan keras ini disampaikan menanggapi polemik di Kecamatan Ukui, Pelalawan, yang mencakup Desa Bagan Limau, Lubuk Kembang Bungo, Air Hitam, Segati, Kesuma, dan Pangkalan Gondai. Para kepala desa tersebut menyuarakan keresahan atas tindakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menertibkan kebun sawit ilegal yang telah lama beroperasi di kawasan TNTN.

Lebih mengejutkan, beberapa kepala desa menyuarakan permintaan agar kebun sawit yang telah ditanam sejak awal 2000-an tetap boleh dikelola hingga satu daur tanam selesai, yaitu sekitar 20 tahun.

“Permintaan ini sangat tidak masuk akal. Kalau satu daur sawit bisa sampai 20 tahun, artinya negara harus menunggu dua kali pemilu presiden dulu baru bisa bertindak? Hutan sudah habis, kejahatan sudah terlalu lama dibiarkan,” tegas Herikson.

Kepala Desa Bagan Limau, Syarifudin, berdalih bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan SKT ataupun SKGR. Namun, ia mengakui adanya penerbitan Surat Keterangan Desa (SKD) yang disebutnya sebagai alat untuk “pendataan” kepemilikan lahan dalam rangka mengantisipasi konflik atau kebakaran.

Namun bagi Herikson, dalih tersebut hanya merupakan bentuk lain dari praktik pembalutan legalitas.

“SKD, SKT, SKGR — apa pun nama dan bentuknya, jika dikeluarkan dalam kawasan konservasi, itu adalah pelanggaran hukum. Kita tidak boleh membiarkan negara tunduk pada permainan administrasi liar,” katanya.

Lebih lanjut, Herikson menegaskan bahwa aparat penegak hukum dapat menjerat para pelaku dengan Pasal 94, 98, dan 99 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jika perbuatan dilakukan secara terstruktur dan melibatkan pihak korporasi, maka ancaman hukumannya lebih berat.

“Kalau aparat tidak bertindak sekarang, maka negara sedang memberi isyarat bahwa pelanggaran hukum bisa dinegosiasikan. Ini ancaman terhadap masa depan lingkungan dan anak cucu kita,” pungkasnya.***mdn

#satgas PKH #Kawasan Tesonilo #SKT teso nilo #kawasan Toro