Oleh : Muhammadun, S. Sos
Dalam dunia yang semakin bising, di mana kata-kata mengalir tanpa henti, kita sering kali terjebak dalam ilusi bahwa berbicara banyak adalah tanda kecerdasan. Namun, dalam kajian filsafat bahasa dan epistemologi, justru sebaliknya yang kerap terjadi—verbalitas yang berlebihan sering kali bukan cerminan kedalaman pemahaman, melainkan gejala dari ketidaktahuan yang terselubung.
Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus mengemukakan bahwa batas bahasa adalah batas pemahaman seseorang. Kata-kata yang melimpah tanpa makna mendalam hanyalah gema kosong, sekadar simbol linguistik yang diulang tanpa benar-benar menyentuh esensi. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep cognitive dissonance dari Leon Festinger, di mana individu yang merasa tidak nyaman dengan ketidaktahuannya cenderung mengisi kekosongan itu dengan kata-kata berlebihan—seolah-olah verbalitas dapat menggantikan substansi.
Lebih jauh lagi, filsuf Harry Frankfurt dalam teorinya tentang bullshit menyoroti bahwa banyak orang berbicara bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk menciptakan kesan bahwa mereka memiliki pemahaman. Dari sudut pandang semiotika, Roland Barthes menegaskan bahwa kata-kata bisa kehilangan maknanya ketika digunakan secara berlebihan atau sembarangan. Bahasa, yang seharusnya menjadi jembatan menuju pemahaman, justru bisa berubah menjadi labirin kosong di mana individu tersesat dalam pantulan suaranya sendiri.
Realitas ini semakin relevan di era digital, di mana media sosial dan platform komunikasi instan memberi ruang bagi siapa saja untuk berbicara, tetapi tidak selalu untuk berpikir. Semakin sering seseorang berbicara tanpa refleksi, semakin besar kemungkinan ia hanya mengulang konstruksi sosial yang telah mapan tanpa benar-benar memahami substansi di baliknya.
Dalam konteks ini, kebijaksanaan tidak terletak pada banyaknya kata-kata, tetapi pada kehati-hatian dalam memilihnya. Laozi dalam Tao Te Ching berujar bahwa kebijaksanaan sejati lebih sering terungkap dalam keheningan daripada dalam deretan kata-kata yang panjang. Oleh karena itu, berbicara tanpa henti bukanlah tanda penguasaan makna, melainkan paradoks: semakin seseorang berbicara, semakin ia menunjukkan betapa sedikitnya ia memahami apa yang sebenarnya ia katakan.
Pada akhirnya, keheningan yang reflektif jauh lebih berharga daripada kebisingan tanpa substansi. Di dunia yang semakin riuh ini, barangkali kita perlu lebih sering diam—bukan karena kita tidak tahu, tetapi justru karena kita ingin benar-benar memahami.***
#Kalau tak faham diam #lebih baik diam ##Kata kata mutiara