Pekanbaru — Harapan para pegiat lingkungan agar jutaan hektar kebun kelapa sawit hasil perampasan negara dikembalikan ke fungsi awal sebagai hutan akhirnya pupus. Alih-alih melakukan restorasi ekosistem, pemerintah justru membuka jalan legalisasi baru melalui perubahan status kawasan secara diam-diam.
Kementerian Kehutanan di bawah kepemimpinan Raja Juli Antoni disorot setelah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20 Tahun 2025 yang memungkinkan lahan sawit sitaan di kawasan hutan dialihkan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Kebijakan ini dinilai bertolak belakang dengan semangat penegakan hukum lingkungan dan pemulihan hutan yang selama ini digaungkan pemerintah.
Padahal, sebelumnya pemerintah dengan gencar mengumumkan pencabutan puluhan izin usaha pemanfaatan hutan (PBPH). Tercatat, 22 izin PBPH dengan luas lebih dari 1 juta hektare dicabut karena dinilai merusak lingkungan dan berkontribusi terhadap bencana ekologis seperti banjir dan longsor, terutama di wilayah Sumatera. Sebelumnya, 20 izin lainnya seluas sekitar 750 ribu hektare juga telah dicabut.
Namun pencabutan izin itu kini dipertanyakan maknanya. Aktivis lingkungan menilai, pencabutan tanpa pemulihan kawasan hanyalah aksi simbolik. Sebab, lahan yang telah dirusak dan ditanami sawit secara ilegal tidak benar-benar dikembalikan menjadi hutan, melainkan “diputihkan” statusnya melalui regulasi baru.
“Kawasan hutan yang dirampas seharusnya dipulihkan, bukan dilegalkan. Ini preseden buruk penegakan hukum kehutanan,” ujar seorang pegiat lingkungan di Riau. Menurut mereka, perubahan status menjadi APL sama saja dengan menghadiahi pelanggar dan membuka peluang eksploitasi lanjutan.
Ironisnya, di sisi lain, Kementerian Kehutanan kerap menampilkan operasi penertiban sebagai bukti ketegasan negara. Dalam Operasi Merah Putih di Bentang Alam Seblat, Bengkulu, pemerintah mengklaim berhasil menguasai kembali 7.790 hektare kawasan hutan dan memusnahkan lebih dari 17 ribu batang sawit ilegal demi menyelamatkan habitat gajah Sumatera.
Kontras kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa sebagian kawasan dipulihkan, sementara jutaan hektar lainnya justru dilepas dari status hutan?
Kritik pun mengarah pada arah politik kehutanan nasional. Di tengah krisis iklim, deforestasi, dan konflik agraria yang tak kunjung reda, kebijakan alih fungsi kawasan dinilai menunjukkan ketundukan negara pada kepentingan ekonomi ekstraktif, khususnya industri sawit skala besar.
Publik kini menunggu jawaban: apakah pencabutan izin dan operasi penertiban benar-benar upaya penyelamatan hutan, atau sekadar tabir kebijakan yang menutup legalisasi perampasan ruang hidup dan kehancuran ekologis secara permanen.***Mdn
#kawasan hutan #Kemenhut #Alih Pungsi Hutan #perkebunan Ilegal