WARTA RAKYAT ONLINE- Pekanbaru – Industri kelapa sawit di Riau kembali menjadi sorotan. Sebanyak 128 perusahaan perkebunan sawit di provinsi ini diketahui beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU), menguasai lahan seluas 746.100 hektare tanpa kepastian hukum. Fakta mengejutkan ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan potensi pelanggaran besar dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
Dari total 273 perusahaan sawit yang beroperasi di 12 kabupaten/kota di Riau, hanya 145 perusahaan (53 persen) yang telah memiliki HGU. Sisanya masih beroperasi tanpa dokumen tersebut, tetapi tetap menikmati hasil dari perkebunan mereka.
Fakta ini sebelumnya telah diungkapkan oleh mantan Gubernur Riau, Edy Natar Nasution, dalam rapat bersama bupati dan wali kota se-Riau di Gedung Daerah, Pekanbaru, pada 24 Januari 2024. Dalam pertemuan itu, Edy menyoroti luas perkebunan sawit di Riau yang mencapai 3,3 juta hektare, menjadikan provinsi ini sebagai wilayah dengan perkebunan sawit terluas di Indonesia.
> "Dari angka itu, perizinan sawit di Riau ada seluas 1,7 juta hektare lebih, dengan jumlah perusahaan terdaftar sebanyak 273 perusahaan. Sementara yang sudah memiliki HGU baru 145 perusahaan atau 53 persen," ungkap Edy.
Pelanggaran Hukum yang Dibiarkan?
Edy menegaskan bahwa banyaknya perusahaan yang beroperasi tanpa HGU merupakan bentuk penyimpangan hukum yang serius. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin ratusan ribu hektare lahan dikelola tanpa legalitas yang jelas.
> "Ini kan sebuah penyimpangan. Seharusnya hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi jika kita memiliki kesadaran hukum yang baik," tegasnya.
HGU merupakan izin resmi yang dikeluarkan oleh negara untuk mengelola lahan dalam jangka waktu tertentu. Tanpa HGU, perusahaan tidak memiliki dasar hukum yang sah dalam menguasai dan mengelola lahan perkebunan. Keberadaan perusahaan tanpa HGU ini menimbulkan berbagai dugaan, mulai dari praktik ilegal, perambahan hutan, hingga potensi korupsi dalam pengelolaan perizinan.
Kewajiban untuk Masyarakat Juga Diabaikan
Tak hanya soal perizinan, Edy juga menyoroti rendahnya kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban membangun kebun plasma untuk masyarakat. Dari 273 perusahaan sawit, hanya 56 perusahaan yang telah memenuhi kewajiban ini. Total kebun plasma yang dibangun pun baru mencapai 298.357 hektare, atau hanya 20 persen dari total luas perkebunan sawit yang ada.
> "Seharusnya perusahaan tidak hanya mengambil keuntungan, tetapi juga memastikan masyarakat mendapatkan manfaat dari industri ini. Namun, faktanya kewajiban ini banyak diabaikan," tambah Edy.
Ketidaksesuaian ini memicu ketidakadilan bagi masyarakat sekitar yang seharusnya mendapatkan manfaat ekonomi dari perkebunan sawit. Perusahaan yang mengabaikan kewajiban ini berpotensi melanggar regulasi perkebunan yang diatur dalam Permentan No. 98 Tahun 2013, yang mewajibkan perusahaan sawit menyediakan minimal 20 persen dari total lahan mereka untuk masyarakat.
Dibutuhkan Pengawasan dan Penindakan Tegas
Menyikapi fakta ini, diperlukan langkah tegas dari pemerintah daerah dan pusat untuk menertibkan perusahaan yang beroperasi tanpa HGU dan tidak memenuhi kewajiban mereka terhadap masyarakat. Lemahnya pengawasan berpotensi memperparah eksploitasi lahan dan ketimpangan ekonomi di sektor perkebunan sawit.
Pemerintah Provinsi Riau bersama instansi terkait diharapkan dapat:
- Memperketat pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan yang beroperasi tanpa izin lengkap.
- Melakukan audit menyeluruh terhadap izin usaha perkebunan di Riau.
- Membuka daftar perusahaan yang tidak memiliki HGU agar publik bisa ikut mengawasi.
- Mewajibkan perusahaan memenuhi kewajiban kebun plasma bagi masyarakat.
Jika pelanggaran ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin eksploitasi sumber daya dan ketimpangan ekonomi akan semakin meluas. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari lemahnya pengawasan ini? *** mdn
#Tangkap Mafia Hutan #cabut izin HGU