WARTARAKYATONLINE--Jakarta, Sekitar 600 warga dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, saat ini sedang bergerak menuju Jakarta untuk menggelar aksi damai pada 21–22 Juli 2025. Aksi ini diklaim sebagai bentuk protes kemanusiaan terhadap ancaman pengusiran paksa oleh pemerintah di wilayah yang telah mereka tempati dan kelola selama bertahun-tahun.
Rombongan diberangkatkan menggunakan 11 bus besar dan belasan mobil pribadi, dengan estimasi tiba di Jakarta pada Minggu malam, 20 Juli 2025 sekitar pukul 22.00 WIB. Setiap peserta aksi disebut dipungut biaya sebesar Rp2 juta untuk logistik dan operasional selama perjalanan oleh pihak koordinator lapangan.
Aksi ini diorganisir oleh Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), yang menyebut kegiatan tersebut sebagai solidaritas terhadap ribuan petani, perempuan, dan anak-anak yang kini terancam kehilangan tempat tinggal, sekolah, rumah ibadah, dan lahan pertanian akibat kebijakan penertiban kawasan hutan, terutama di zona inti TNTN.
Dalam surat pemberitahuan aksi yang dikirimkan ke Intelkam Polda Metro Jaya, Koordinator Lapangan Betran Sulani menegaskan bahwa aksi ini bukan bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan seruan moral agar pemerintah hadir dalam penyelesaian konflik agraria secara adil dan berpihak kepada rakyat kecil.
“Negara seharusnya hadir memberikan solusi, bukan mengusir. Kehidupan warga TNTN telah tertata, mereka hidup dan tumbuh bersama tanah itu. Negara tidak bisa datang seenaknya lalu menggusur,” ujar Betran.
Lokasi aksi akan difokuskan di dua titik utama: Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Gedung DPR RI. Massa rencananya akan menginap di lokasi aksi, dengan membawa perlengkapan seperti spanduk, pengeras suara, tikar, dan logistik lainnya.
Di Balik Aksi
Meski diklaim sebagai gerakan kemanusiaan, aksi ini memunculkan dugaan kuat adanya keterlibatan para mafia sawit dan cukong lahan, yang memanfaatkan keresahan masyarakat untuk menggembosi kebijakan pemerintah dalam menertibkan kawasan konservasi TNTN.
Beberapa sumber menyebut, terdapat aliran dana dari cukong sawit kepada oknum-oknum tertentu untuk membiayai aksi ini. Bahkan para peserta aksi disebut telah diiming-imingi janji bahwa kebun sawit yang mereka kelola akan diputihkan, atau setidaknya diizinkan tetap beroperasi hingga satu daur panen.
Padahal, janji itu bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Berdasarkan aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), TNTN merupakan kawasan konservasi yang tidak bisa dilegalkan atau dialihfungsi melalui skema apapun, baik itu pemutihan, tumpang sari, ataupun daur sawit.
“Sesuai aturan, kawasan TNTN tidak boleh dikelola untuk sawit. Tidak ada skema legalitas apapun yang bisa digunakan. Klaim sawit satu daur atau pemutihan adalah ilusi yang disebarkan mafia untuk meredam penertiban,” ujar seorang pejabat KLHK yang enggan disebut namanya.
Pemerintah sebelumnya telah memetakan ribuan hektare kebun sawit ilegal di dalam zona inti TNTN dan menyatakan akan melakukan pemulihan kawasan (reforestasi). Namun, kegiatan reforestasi justru ditentang oleh sebagian kelompok yang telah menikmati hasil kebun sawit bertahun-tahun.
Warga lokal seperti Aziz, salah satu tokoh adat, menyebut bahwa jika pemerintah ingin melakukan reforestasi, sebaiknya dilakukan di kawasan hutan yang masih kosong — bukan di atas lahan yang telah dikelola masyarakat.
“Masyarakat siap menanam pohon di areal hutan sekitar TNTN. Tapi jangan mereka disuruh pindah. TNTN itu luasnya ratusan ribu hektare, masih banyak yang bisa direstorasi tanpa mengorbankan warga,” ujarnya.
Aksi ini juga dijadikan sebagai momen tekanan kepada Presiden Prabowo Subianto agar bersikap terhadap mafia tanah dan tidak sekadar mengusir rakyat kecil. EN-LMND menyebut bahwa komitmen Presiden terhadap reforma agraria harus ditegakkan secara adil, tidak dengan mengorbankan rakyat.
“Presiden harus buktikan keberpihakan kepada petani. Jangan sampai rakyat yang sudah lama hidup di tanahnya sendiri justru diperlakukan seperti penyusup,” tulis pernyataan EN-LMND.
Sejumlah aktivis lingkungan juga meminta agar aparat dan pemerintah membedakan antara aspirasi warga asli dengan kepentingan terselubung mafia yang mendanai dan mengarahkan gerakan untuk mempertahankan praktik ilegal.
Aksi ini membawa aspirasi dari warga di enam desa di sekitar TNTN, namun patut diawasi ketat agar tidak berubah menjadi alat politisasi dan pembenaran terhadap perambahan kawasan konservasi yang selama ini dilindungi undang-undang. (Rls)
#Hutan Teso Nilo #Kawasan TNTN #Aksi TNTN