WARTA RAKYAT ONLINE- Batam , Sebuah kapal tongkang bernama RIA XI, yang diderek oleh TB Hikmah Bunda 13, memicu kehebohan di perairan Kepulauan Riau setelah kedapatan membawa ribuan ton pasir laut dari Pulau Babi, Kabupaten Karimun ke Kota Batam. Muatan besar tersebut ditengarai melampaui batas izin yang dimiliki dan membuka kembali praktik tambang rakyat yang menyimpang dari ketentuan hukum.
Pergerakan tongkang bermuatan pasir itu dipantau masuk ke wilayah Nongsa pada Jumat malam (18/7/2025) sekitar pukul 20.00 WIB, sebelum dijadwalkan bongkar di Kabil. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana kapal dengan muatan sebesar itu bisa masuk ke Batam tanpa hambatan.
Izin Kecil, Produksi Raksasa
Berdasarkan dokumen yang beredar, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atas nama Edy Anwar hanya mengakomodasi lahan tambang seluas 1 hektar dengan kapasitas maksimal 10 ribu kubik pasir laut per tahun. Namun, apa yang terlihat di lapangan diduga jauh melampaui batas tersebut.
“Seharusnya hanya boleh kirim ke Selat Panjang dengan tongkang kecil 120 feet dan maksimal 600 ton. Tapi ini tongkang 180 feet, isinya bisa lebih dari 2.000 ton. Jelas sudah menyimpang,” ujar seorang sumber yang mengetahui langsung aktivitas tambang tersebut.
Pihak yang bersangkutan dituding menggunakan IPR sebagai ‘tameng legalitas’, namun dalam praktiknya justru menjalankan bisnis skala besar dengan muatan jauh melebihi izin.
Pemilik Izin Lempar Jawaban ke Kuasa Hukum
Ketika dimintai klarifikasi, Edy Anwar tak bersedia memberikan penjelasan langsung. Ia meminta wartawan untuk menghubungi pengacaranya. Kuasa hukumnya, Patas Sulaiman Rambe, bersikeras bahwa kegiatan tambang kliennya sudah sesuai ketentuan.
“Kami merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2020, PP 96 Tahun 2021, dan Permen ESDM 7/2020. Semua legal,” ucap Patas dalam pesan singkat.
Namun saat ditanya soal rincian muatan, peruntukan pasir, dan kenapa pengiriman dilakukan ke Batam, ia mengelak dengan alasan teknis dan menyerahkan urusan itu ke pihak surveyor.
“Kami jual ke pembeli di Indonesia, soal mereka pakai untuk apa, kami tidak tahu,” tambahnya.
Pasir Laut Diduga Dijual Eceran di Batam
Informasi yang beredar menyebutkan pasir laut tersebut akan digunakan dalam proyek properti di Batam. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena kualitas pasir laut—yang memiliki kandungan garam tinggi—tidak layak digunakan untuk konstruksi bangunan.
Jika benar, bukan hanya soal pelanggaran izin tambang, tetapi juga potensi merugikan konsumen dan membahayakan kualitas bangunan.
“Pasir laut itu tidak boleh untuk material bangunan tanpa proses pencucian khusus. Kalau dijual eceran tanpa kontrol, konsumen bisa dirugikan,” ujar seorang insinyur konstruksi di Batam.
Rekam Jejak Buruk: Berulang Kali Terlibat Masalah
Ini bukan pertama kalinya nama Edy Anwar muncul dalam kasus tambang ilegal. Ia sudah dua kali tercatat melakukan aktivitas penambangan tanpa kelengkapan izin:
Mei 2024, tiga kapal miliknya ditangkap Ditpolairud karena menambang tanpa dokumen lengkap.
Juli 2024, kembali beroperasi tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan izin lingkungan.
“Kami sudah mengeluarkan surat penghentian aktivitas tambang. Jika tetap beroperasi, ada potensi sanksi pidana,” tegas Saiful Anam, Ketua Tim Intelijen dan Pengawasan PSDKP Batam, tahun lalu.
Regulasi Dilanggar, Aparat Harus Bergerak
Kasus ini memperlihatkan celah dalam pengawasan tambang rakyat. Izin yang semestinya digunakan untuk aktivitas kecil justru disulap menjadi kedok operasi besar-besaran. Banyak kalangan mendesak agar aparat penegak hukum, mulai dari Kementerian ESDM hingga aparat kepolisian, segera melakukan investigasi menyeluruh.
“Izin rakyat tapi operasinya industri. Negara dirugikan, lingkungan dirusak, hukum diakali. Jangan dibiarkan,” kritik seorang aktivis lingkungan dari LSM Hijau Laut.***mdn
#Tambang Pasir Laut #Tambang Pasir Karimun #Pasit Laut Batam