Jakarta, WARTARAKYAT – Skandal penyaluran dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kembali mencuat. Selama periode 2015–2023, tercatat Rp179 triliun dana hasil pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) justru lebih banyak mengalir ke kantong konglomerasi sawit ketimbang untuk kepentingan petani kecil dan pengembangan industri nasional.
Ketua Umum Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir. Ganda Mora, SH, M.Si, menegaskan bahwa praktik ini merupakan bentuk nyata penyimpangan kebijakan negara. “Ini bukan sekadar salah urus, tapi keberpihakan terang-terangan kepada taipan sawit. Padahal undang-undang jelas memprioritaskan dana untuk SDM, penelitian, peremajaan, dan infrastruktur perkebunan,” ujarnya dalam wawancara eksklusif, Jumat (5/9/2025).
Subsidi Mengalir Deras ke Grup Raksasa
Data yang dihimpun menunjukkan betapa timpangnya distribusi dana subsidi biodiesel.
Wilmar Group: Rp56,61 triliun
Musim Mas: Rp26,46 triliun
Royal Golden Eagle (RGE): Rp21,31 triliun
Permata Hijau: Rp14,91 triliun
Sinar Mas: Rp14,03 triliun
Darmex Agro/Duta Palma: Rp10,71 triliun
Louis Dreyfus (LDC): Rp6,82 triliun
Puluhan perusahaan lain hingga total Rp179 triliun.
Ironisnya, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hanya kebagian Rp2,4 triliun untuk 98.869 hektar lahan pada 2019. Angka ini bagai “recehan” dibanding subsidi untuk raksasa sawit.
“No Viral, No Justice”
Ganda Mora menyoroti senyapnya kasus ini sejak pertama kali mencuat pada 2020. “Di Indonesia berlaku hukum ‘no viral, no justice’. Kalau tidak dipublikasikan dan disuarakan, kasus sebesar ini bisa terkubur begitu saja,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan logika pemerintah: mengapa perusahaan yang telah disita negara seperti Duta Palma Group (Darmex Agro) tetap menikmati kucuran subsidi BPDPKS, sementara BUMN sawit dan koperasi rakyat justru dibiarkan tanpa dukungan berarti.
Dukungan Politik: Rieke Diah Pitaloka Angkat Suara
Sorotan tajam juga datang dari Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI periode 2024–2029. Ia mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung yang sedang menyelidiki 23 perusahaan dengan indikasi penyalahgunaan dana sawit sebesar Rp57,55 triliun.
“Balikin duitnya, sita asetnya. Kelola untuk negara, bekerja sama dengan perkebunan rakyat dan koperasi,” tegas Rieke dalam sebuah video pernyataannya.
Rieke bahkan menyinggung dugaan kerugian negara dari PT Agrinas Palma Nusantara, BUMN sawit yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp144 triliun per tahun di atas lahan seluas 3,7 juta hektar.
Tuntutan Audit dan Penegakan Hukum
Baik INPEST maupun sejumlah elemen masyarakat sipil mendesak BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk membuka audit menyeluruh terhadap BPDPKS. Transparansi aliran dana menjadi syarat mutlak agar penyimpangan serupa tidak berulang.
“Dana ini bukan milik segelintir konglomerat, melainkan hasil pungutan dari seluruh perkebunan sawit, termasuk petani kecil yang justru paling sering dipinggirkan,” tegas Ganda Mora.
Skandal dana sawit ini bukan sekadar soal korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Ia mencerminkan pola keberpihakan negara yang salah arah: menyokong taipan sawit dengan puluhan triliun rupiah, sementara petani rakyat hanya diberi sisanya.
Kini, publik menanti keberanian aparat penegak hukum. Apakah Kejaksaan Agung dan KPK akan benar-benar membongkar skandal Rp179 triliun ini, ataukah sekali lagi suara rakyat dikalahkan oleh kuasa konglomerat?
sumber : Satuju.com ***MDN