SOLAR MURAH, NEGARA MERUGI: JEJAK KORUPSI RAKSASA DI BALIK BISNIS ENERGI PERTAMINA

SOLAR MURAH, NEGARA MERUGI: JEJAK KORUPSI RAKSASA DI BALIK BISNIS ENERGI PERTAMINA
Ilustrasi Realistis

WARTARAKYAT - Jakarta, Sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis, 9 Oktober 2025, menjadi sorotan tajam publik. Mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, resmi didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung membeberkan bahwa di bawah kepemimpinan Riva, terjadi praktik jual beli solar nonsubsidi dengan harga di bawah “bottom price”, bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP). Praktik ini menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah dan menguntungkan sejumlah perusahaan swasta besar.

Dua Anak Usaha Sinar Mas Group Raup Untung Ratusan Miliar

Fakta mencengangkan muncul di ruang sidang. Dua anak perusahaan Sinar Mas Group, yakni PT Berau Coal dan PT Puranusa Eka Persada melalui PT Arara Abadi, tercatat menerima keuntungan fantastis dari kontrak solar nonsubsidi tersebut.

Data jaksa menunjukkan, total keuntungan yang diterima kedua perusahaan mencapai Rp481,22 miliar.

PT Berau Coal disebut meraup Rp449,10 miliar,

sementara PT Puranusa Eka Persada memperoleh Rp32,11 miliar.

Kontrak itu, menurut jaksa, disetujui langsung oleh Riva Siahaan melalui mekanisme harga jual di bawah ketentuan resmi yang berlaku di internal Pertamina. Harga dasar yang seharusnya melindungi margin negara, justru diobral untuk kepentingan korporasi swasta.

Modus yang Terstruktur dan Sistematis

Jaksa menegaskan, skema ini bukanlah kebijakan keliru semata, melainkan praktik sistematis yang dijalankan melalui sejumlah kebijakan pemasaran.

Selain menjual solar di bawah harga wajar, penyimpangan juga terjadi dalam pengadaan impor BBM. Riva disebut memberikan perlakuan khusus kepada perusahaan asing seperti BP Singapore Pte. Ltd. dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte. Ltd. dalam tender impor Gasoline RON 90 dan 92.

Informasi tender, waktu penawaran, hingga parameter teknis diduga dibocorkan agar perusahaan tertentu menang. Proses ini disebut melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas tata niaga migas nasional.

Korupsi Raksasa yang Guncang Reputasi Pertamina

Kejaksaan mengungkap bahwa akibat perbuatan para terdakwa, kerugian keuangan negara mencapai Rp2,5 triliun, sementara kerugian perekonomian negara ditaksir mencapai lebih dari Rp171 triliun. Jika dikonversi, total kerugian disebut mencapai Rp285 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah sektor energi Indonesia.

Selain Sinar Mas Group, beberapa perusahaan besar lain juga disebut diuntungkan dari praktik serupa, antara lain PT Adaro Indonesia (Rp168,5 miliar), PT BUMA, dan PT Merah Putih Petroleum.

“Riva Siahaan secara sadar menandatangani dan menyetujui penjualan solar di bawah bottom price. Keputusan itu menguntungkan pihak tertentu dan merugikan Pertamina sebagai perusahaan negara,” tegas jaksa di hadapan majelis hakim.

Dari Direktur Niaga ke Kursi Terdakwa

Riva Siahaan bukan sosok asing di tubuh Pertamina. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina Patra, sebelum akhirnya diangkat menjadi Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, subholding yang mengelola distribusi dan perdagangan BBM nasional.

Selama masa jabatannya (2018–2023), Riva dianggap memegang kendali penuh terhadap tata niaga minyak mentah dan produk kilang, termasuk pengaturan harga jual BBM industri dan marine fuel. Dalam dakwaan, ia disebut melanggar Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri & Marine No. A02-001/PNC200000/2022-S9 yang seharusnya menjamin setiap transaksi dilakukan dengan prinsip profitabilitas dan harga dasar yang adil.

Kini, Riva duduk di kursi pesakitan bersama tiga terdakwa lainnya: Maya Kusmaya (VP Trading), Edward Corne (Manajer Impor & Ekspor), dan Sani Dinar Saifuddin.

Pembelaan dan Reaksi Publik

Melalui penasihat hukumnya, Riva membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyebut bahwa kebijakan harga solar di bawah HPP bukan keputusan pribadi, melainkan bagian dari strategi pemasaran nasional untuk menjaga suplai dan daya saing industri.

“Tidak ada niat memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Semua keputusan diambil berdasarkan rapat korporasi yang disetujui internal perusahaan,” ujar Riva dalam sidang.

Namun, publik menilai lain. Lembaga pengawas dan kelompok masyarakat sipil menyoroti lemahnya sistem pengawasan di tubuh Pertamina yang memungkinkan “celah kebijakan” dijadikan lahan korupsi. Sejumlah ekonom bahkan menyebut kasus ini sebagai “aib tata kelola energi nasional” yang menunjukkan betapa rentannya sektor strategis terhadap kepentingan bisnis dan politik.

Jejak Raksasa dan Bayang Reputasi

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi reputasi Pertamina dan subholding-nya. Di saat masyarakat menghadapi kenaikan harga BBM, di sisi lain perusahaan swasta justru mendapat solar murah dari jaringan internal Pertamina sendiri.

Kejatuhan Riva Siahaan menunjukkan bahwa korupsi di sektor energi tidak lagi berdiri pada level birokrat rendah, melainkan menyentuh puncak manajemen korporasi negara.

Kini, publik menanti apakah persidangan akan benar-benar menuntaskan akar masalahnya  atau sekadar menambah daftar panjang kasus korupsi yang berakhir dengan kompromi.

Penutup: Api di Balik Minyak

Kasus ini bukan sekadar soal angka triliunan rupiah. Ia adalah simbol dari bagaimana tata kelola energi nasional masih rentan disusupi kepentingan pribadi dan korporasi.

Selama solar masih dijual di bawah harga wajar, selama keputusan bisnis bisa dipesan oleh pihak berkepentingan, maka api korupsi akan terus menyala  di balik setiap tetes minyak yang mengalir dari tangki negara.***MDn

#Skandal Pertamina #Jejak Kelam Sinarmas #Mafia MIGAS